Kilasnegara.site - Pernahkah Anda merasa cemas atau gelisah saat melihat teman-teman Anda bersenang-senang di media sosial tanpa Anda? Perasaan ini dikenal dengan istilah FOMO atau Fear of Missing Out. Meskipun sensasi ini telah ada sepanjang sejarah manusia, istilahnya baru mendapatkan popularitas signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Apa Itu FOMO?
Secara harfiah, FOMO adalah akronim dari Fear of Missing Out, yang berarti "ketakutan ketinggalan". Ini adalah kecemasan sosial yang muncul saat seseorang merasa bahwa orang lain sedang mengalami pengalaman yang menyenangkan, menarik, atau berharga dan mereka tidak menjadi bagian dari itu. Perasaan ini bisa dipicu oleh unggahan foto liburan, pesta, atau bahkan sekadar kumpul-kumpul santai yang terlihat seru di media sosial.
Asal-Usul Istilah
Meskipun perasaan itu sendiri sudah ada sejak lama, istilah "FOMO" mulai dikenal secara luas pada tahun 2004. Penulis dan ahli strategi pemasaran Dan Herman adalah orang pertama yang memperkenalkan istilah ini dalam makalah akademisnya yang berjudul “The Study of FOMO and Social Anxiety.” Herman mendefinisikan FOMO sebagai "kecemasan atau ketakutan sosial yang muncul karena keyakinan bahwa orang lain mungkin sedang menjalani pengalaman yang memuaskan dan Anda tidak hadir."
Namun, istilah ini baru benar-benar meledak dan menjadi bagian dari percakapan sehari-hari sekitar tahun 2010, seiring dengan melonjaknya popularitas media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter. Platform-platform ini secara efektif menjadi etalase bagi kehidupan orang lain, di mana setiap momen yang dibagikan terasa seperti sebuah acara yang wajib dihadiri. Hal ini menciptakan lingkungan yang sempurna bagi FOMO untuk berkembang, menjadikannya sebuah fenomena budaya yang relevan bagi banyak orang.
Mengapa FOMO Sangat Relevan di Era Digital?
Media sosial adalah pendorong utama di balik popularitas FOMO. Berikut adalah beberapa alasan mengapa:
Pameran Momen Terbaik: Di media sosial, orang cenderung hanya membagikan momen-momen terbaik dan paling seru dalam hidup mereka. Hal ini menciptakan kesan yang tidak realistis bahwa kehidupan orang lain selalu penuh dengan kesenangan dan kegembiraan, yang memicu perasaan tidak memadai dan kecemasan bagi yang melihatnya.
Akses Informasi yang Konstan: Dengan smartphone, kita memiliki akses tanpa henti untuk melihat apa yang dilakukan orang lain, kapan saja dan di mana saja. Notifikasi yang terus-menerus dan algoritma yang dirancang untuk menjaga kita tetap online memperkuat siklus FOMO.
Perbandingan Sosial: Media sosial memicu perbandingan sosial secara instan dan terus-menerus. Kita tidak hanya membandingkan diri dengan teman, tetapi juga dengan influencer atau orang asing yang hidupnya terlihat sempurna.
0 Komentar
Berilah komentar, kritik, serta saran dengan baik dan bijak